wisata ke Lampung
RABU pagi ini saya berangkat ke Lampung. Berkat memenangkan lomba blog Sunpride, saya bersama beberapa blogger lain dibawa berkunjung ke kebun buah Nusantara Tropical Farm di kawasan Way Kambas, Lampung Timur. Perjalanan ini akan jadi kali pertama saya mendatangi propinsi paling selatan Pulau Sumatera tersebut.
“Jadi, ceritanya Bung Eko belum pernah ke Lampung nih?”
Ini pertanyaan susah-susah gampang dijawab. Entah berapa kali saya melintasi Lampung sejak tahun 2000, tahun ketika saya pergi merantau ke Jogja untuk menuntut ilmu. Tapi benar-benar hanya melintas saja.
Dari Jambi atau Palembang, saya biasa menumpang bus Ramayana atau Putra Remaja menuju ke Jogja. Jaman itu Kabupaten Ogan Komering Ulu di Sumatera Selatan masih berbatasan langsung dengan Kabupaten Tulang Bawang di Lampung. Biasanya bus memasuki Tulang Bawang rembang petang. Lalu pagi-pagi buta sampai di Bakauheuni, sebelum menyeberang ke Pulau Jawa.
Pernah sih saya menginap semalam di Lampung. Tapi statusnya tetap saja melintas, numpang lewat. Itu terjadi di tahun 2007, sewaktu saya nebeng seorang paman yang hendak menjenguk anaknya di Lampung. Saya dan paman bertemu di rumah Simbah di Palembang, lalu saya diajak ke rumah paman di Pendopo, Kab. PALI.
Ketika paman dan bibi ke Lampung untuk menjenguk anaknya yang sekolah di sana, saya ikut. Lumayan nebeng sampai Lampung, hemat ongkos. Hehehe. Sampai di Lampung jelang magrib, menginap semalam, lalu keesokan harinya saya sudah berada di dalam bus AKAP menuju Jogja. Lagi-lagi, hanya numpang lewat.
Rajabasa dan Bakauheni
Karena bolak-balik cuma numpang lewat, referensi saya soal Lampung hanya dari cerita orang dan baca sana-sini. Semasa tinggal di Batumarta VI, saya menemukan bertumpuk-tumpuk koran Lampung Post di rumah dinas bibi yang seorang bidan desa. Dokter yang pernah menempati rumah dinas tersebut rupanya pelanggan Lampung Post.
Karena bolak-balik cuma numpang lewat, referensi saya soal Lampung hanya dari cerita orang dan baca sana-sini. Semasa tinggal di Batumarta VI, saya menemukan bertumpuk-tumpuk koran Lampung Post di rumah dinas bibi yang seorang bidan desa. Dokter yang pernah menempati rumah dinas tersebut rupanya pelanggan Lampung Post.
Itulah perkenalan pertama saya dengan Lampung. Berhari-hari saya habiskan untuk membaca eksemplar demi eksemplar Lampung Post tersebut sebelum berpindah tangan ke tukang loak. Tapi saking banyaknya koran yang dibaca, saya tak ingat apapun isi koran itu kecuali berita kaburnya Eddy Tansil dari penjara dan serial silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Saya lebih mengenal Lampung semenjak kuliah di Jogja. Ya, gara-gara melintas saat berangkat dari atau pulang ke Jambi. Saya jadi tahu di Lampung ada satu terminal bus besar dan terkenal bernama Terminal Rajabasa. Salah satu terminal terbesar dan tersibuk di Sumatera. Mau cari bus jurusan mana saja ke Sumatera dan Pulau Jawa sampai Bali, semua ada di terminal ini.
berapi aktif dengan ketinggian 1.282 mdpl di wilayah Lampung Selatan. Danau besar di puncak gunung menandakan Gunung Rajabasa pernah erupsi dahsyat. Hanya saja tidak diketahui pasti kapan peristiwa tersebut terjadi.
Selain Terminal Rajabasa, Lampung juga punya Pelabuhan Bakauheni yang merupakan gerbang utama Pulau Sumatera dari Jawa. Pelabuhan ini tak akan pernah terlupakan karena di sinilah saya pertama kali naik kapal laut. Juga pertama kali saya melihat lautan luas!
Saya masih ingat betul hari itu, suatu Subuh di bulan Juni 2000. Bus Ramayana yang saya tumpangi masuk pelabuhan saat langit masih gelap. Adzan Subuh belum lama berkumandang. Mata saya tak berkedip sedikit pun ketika bus masuk ke dalam lambung kapal. Kesibukan petugas mengatur bus dan truk, suara bising mesin kendaraan, berikut aroma khas lambung kapal, semuanya masih terekam jelas dalam memori.
Ketika feri mulai bergerak meninggalkan Pulau Sumatera saya tak henti-hentinya memandang lautan dengan takjub. Sepanjang dua jam saya terus berdiri di sisi kapal, melihat pulau-pulau kecil di sekitar pelabuhan sembari berpegangan pagar besi. Udara pagi nan sejuk bercampur uap garam saya hirup pelan-pelan dengan perasaan bahagia.
Sejak 2005, bertepatan dengan berdirinya Monumen Siger, saya lebih suka mudik ke Jambi lewat jalur udara karena alasan menghemat waktu. Jalur mudik berubah. Naik kereta atau travel ke Jakarta, lalu dilanjutkan pesawat ke Jambi. Terlebih semenjak mempunyai anak, saya tak pernah lagi menjenguk orang tua naik bus.
Rupanya ada rasa rindu setelah bertahun-tahun tak melewati Bakauheni dan naik kapal feri. Karenanya momentum pernikahan adik di Jambi pada November 2015 saya manfaatkan untuk mengulang kembali kenangan masa kuliah. Berangkat naik pesawat, pulangnya saya ajak anak-istri naik bus supaya bisa naik kapal dan menikmati suasana Selat Sunda nan syahdu.
Komentar
Posting Komentar